Anak Belajar Dari lingkungannya
Jika anak banyak dicela, ia akan terbiasa menyalahkan
Jika anak banyak dimusuhi, ia akan terbiasa menentang
Jika anak dihantui ketakutan, ia akan terbiasa cemas, dan
Jika anak dikelilingi olok-olok, maka ia akan terbiasa menjadi pemalu.
Akhir-akhir ini, fenomena bunuh diri dan kekerasan dikalangan anak-anak
dan remaja makin marak. Mirisnya, masalah yang membuat mereka melakukan
hal itu, merupakan persoalan-persoalan sepele, seperti marah karena
dipanggil gendut, ditinggal pacar dan sebagainya. anak-anak sekarang
banyak yang terperangkap dalam berbagai situasi sosial yang sangat tidak
kondusif. Mereka stres oleh tekanan-tekanan dalam keluarga, sekolah,
dan lingkungan masyarakat, hingga memicu perilaku agresif yang
seringkali tidak terkontrol. Pemberian lingkungan yang tidak kondusif
pada anak, tekanan yang berlebihan dan hal-hal yang secara psikologis
menyebabkan anak terluka inilah yang oleh Dr. Seto Mulyadi, ditekankan
sebagai kekerasan psikologis. Bentuknya bisa berupa tudingan, memberikan
label buruk pada anak, ancaman, tudingan ataupun umpatan, kata-kata
yang kasar, maupun gerakan-gerakan mengancam, membuat anak terluka
hatinya, membuat anak takut, stress dan sebagainya. Namun perjalanan
hidup yang cukup keras sejak duduk di bangku sekolah dasar telah
mengajarinya untuk menjadi keras. Sebuah pelajaran di masa kecil yang
tidak dapat dilupakannya sampai kapanpun.
Awalnya B hanya bisa menangis melihat kedua orang tuanya setiap hari
bertengkar didepannya dan sang adik. Saat dia duduk di bangku kelas
empat SD ibu diusir. ”Saat itulah saya mulai dendam sama bapak dan emosi
saya makin tinggi dan makin lama makin tambah emosional. Bisa dibilang
saya belajar marah-marah ya dari bapak,” tambah B. Menurut saya waktu
itu, kalau orang dianggap ”batu” atau keras kepala, orang akan segan
sama kita,” kata B. Salah satu cara untuk pembuktian diri. B dapat
menjadi contoh korban kekerasan psikologi yang tidak disadari orang
tuanya. Secara umum dikatakan bahwa akibat utama kekerasan psikologis
dari orang tua, guru, lingkungan maupun aturan-aturan pemerintah ada
beberapa hal. Pertama model-model kekerasan yang dilihat dan diterima
akan diimitasi oleh si anak Yang kedua adalah rusaknya perkembangan jiwa
si anak. Anak menjadi tidak bisa konsentrasi, anak stress, anak menjadi
takut, anak menjadi termotifasi untuk melakukan tindak kekerasan dan
sebagainya. ”Makanya selalu dikatakan kalau anak melakukan tindak
kekerasan terhadap orang lain, sebaiknya anak tidak hanya diposisikan
sebagai terdakwa atau tertuduh pelaku kriminal, tetapi juga harus
diperlakukan sebagai korban. Karena anak tersebut merupakan korban dari
kekerasan yang begitu mewarnai kehidupan anak-anak sehingga dia
tergelincir dan terjebak terpaksa harus berkonflik dengan hukum. Salah
satu yang merupakan kekerasan psikologis terhadap anak adalah pengabaian
& karena kurang kasih sayang. Saat ini begitu banyak paradigma
orang tua yang keliru. Mereka menganggap seolah-olah anak-anak itu
dengan sendirinya bisa hidup dengan baik. Akibat dari paradigma yang
keliru ini, sering terjadi pengabaian oleh orang tua terhadap anak-anak
dengan membiarkan mereka hidup dalam situasi yang negatif. Mereka lupa
bahwa bibit unggul tidak bisa hidup dan menghasilkan yang terbaik dengan
sendirinya. Bibit unggul hanya bisa tumbuh dengan baik di tanam ditanah
yang subur. Seorang anak yang baik sekalipun, kalau dia berada dalam
lingkungan yang negatif, maka ia akan rusak juga. Dia akan berkembang
menjadi negatif. Banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa melahirkan
seorang anak adalah awal dari suatu tanggung jawab yang cukup panjang,
termasuk melindungi si anak dari pengaruh-pengaruh negatif dari dalam
dan luar rumah, seperti emosi orang tua, tuntutan yang terlalu berat,
acara-acara TV yang negatif. Anak memang harus dilindungi. Bibit unggul
sebagus apapun jika ditanam ditanah yang tandus dan diterpa topan dan
badai ya akan rusak juga. Pola pendidikan, sosialisasi dan pola
interaksi dalam keluarga sangat berpengaruh terhadap proses pembentukan
perilaku anak. Kekerasan anak bisa muncul tatkala orang tua kurang
perduli terhadap lingkungan pergaulan anak. Berbagai pendapat
diungkapkan para pakar mengenai penyebab munculnya perilaku kekerasan di
dalam jiwa dan lingkungan anak-anak namun sebagian besar setuju bahwa
perilaku kekerasan di lingkungan anak-anak lebih banyak dipengaruhi
latar belakang pola pendidikan dalam keluarga. Pengajaran yang lebih
lengkap dan bermakna bila didasari kasih sayang, saling menghargai dan
saling membutuhkan, perasaan cinta kepada anak-anak. Apapun pengaruh di
luar, ditangan orang tualah perilaku kekerasan anak dapat diredam.
Namun persoalannya, masih banyak orang tua yang belum aktif berperan
dalam pendampingan dan menjadi sahabat anaknya. Masih banyak orang tua
yang belum menyadari bahwa perannya sangat penting dalam proses
pendidikan kejiwaan seorang anak dalam kehidupannya. Bahkan banyak orang
tua dan masyarakat terkesan kurang peduli terhadap perkembangan
kejiwaan seorang anak. Tak dapat dipungkiri, sering kita melihat
kekerasan terhadap anak disekitar kita, namun hanya rasa iba dan sedikit
kasihan saja yang timbul. Padaha perilaku anak dibentuk oleh orang tua
dan lingkungannya. Anak pada masa sekarang adalah cerminan kehidupan di
masa depan.
Perkembangan kecerdasan dan mental seorang anak atau IQ/EQ sering
dirusak para orangtua karena cara mengasuh, membimbing, serta membina
anak pada "usia keemasan" (nol sampai enam tahun) dengan cara yang
salah, yakni sekadar bicara bukan dengan sikap/teladan.
Menurut para ahli, usia menyerap anak pada ’usia keemasan’, yakni nol
sampai enam tahun mencapai 70-80 persen, yang efektif dibina dengan cara
sikap atau teladan orangtua, bukan hanya sekadar perintah atau bicara,
jadi para orang tua jangan merusak kecerdasan dan mental anak kita
akibat kesalahan kita sendiri. Kalau kita perintahkan anak belajar,
sementara orangtuanya nonton TV, pasti anak tetap ikut nonton TV.
Kalaupun kita paksa anak belajar, kemungkinan besar anak akan menangis.
Ia menambahkan bahwa anak-anak butuh keteladanan dan contoh sikap
tersebut bagi seorang anak akan tertanam kuat dalam benaknya sampai
mereka dewasa nanti. Jika sejak kecil anak sudah terbiasa melihat
orangtuanya berbuat apa saja, baik itu shalat dan mengaji, maka hal itu
akan mereka ingat terus. Namun, apabila ayah dan ibunya sering
berkelahi, maka kebiasaan orangtua akan terekam pula dan bisa terbawa
menjadi sikap keras mereka saat dewasa. Cara mendidik anak agar tidak
ada unsur paksaan dan kekerasan, baik kekerasan secara lisan, maupun
kekerasan secara fisik. Pasalnya, hal itu justru bisa memengaruhi
pelambatan daya pikir, kreativitas, dan mental atau intelligent
quatients dan emotional quotients (IQ/EQ) si anak. Pendidikan di sekolah
sifatnya hanya dukungan bagi perkembangan anak, tetapi mempersiapkan
generasi muda, yang menjadi aset bangsa itu, berawal dari rumah atau
kehidupan keluarganya.
*> Di ambil dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar