Ada kalanya stres diperlukan untuk memacu prestasi. Tapi jangan anggap
enteng stres yang berulang, karena ia akan seperti badai yang menguras
nutrisi otak dan memunculkan berbagai penyakit fisik.
Pilih
mana, lari dari tembakan aparat yang menggunakan peluru tajam saat
berdemonstrasi menuntut reformasi, atau menghadapi lalu lintas yang
macet total selama dua jam karena demonstrasi? Mungkin Anda akan dengan
cepat berkata, “Tidak semuanya.” Tapi kalau diharuskan memilih, biasanya
orang cenderung memilih lalu lintas yang macet.
Kedua situasi
itu memang akan menimbulkan reaksi yang sama pada fisik dan psikis kita.
Yaitu stres, dan darah serta adrenalin mengalir deras. Tapi kalau
mengacu pada pendapat ahli endokrinologi dari Universitas Rockefeller di
New York, Bruce McEwen, sebaiknya pilih ditembaki aparat saja. Bahkan
lebih baik dikejar harimau lapar daripada menghadapi kemacetan lalu
lintas. Kok, bisa?
McEwen punya alasan. Lari dari tembakan
aparat atau dari kejaran harimau hanya akan mendatangkan stres yang
singkat walaupun tampaknya lebih menakutkan, sedangkan tubuh kita sudah
dirancang supaya mampu menghadapi situasi seperti itu. Lain halnya stres
yang lama, berulang-ulang, dan kronis, tubuh kita tidak dipersiapkan
untuk itu dan akibatnya dapat merusak otak.
Stres atau keadaan
yang menekan secara fisik maupun psikis, sering dianggap sebagai
‘teman’. Disebut teman, karena ada kalanya situasi menekan itu justru
mampu menghasilkan prestasi dan produktivitas. Karena itu para psikolog
sering menasihati, stres tidak perlu dihindari atau pun dilawan, tapi
dikelola.
Sayang, tak semua orang mampu mengelola stres, sehingga
banyak penyakit (fisik) yang timbul. Mulai dari maag, liver, jantung,
stroke, kanker dan sebagainya. Karena itu semboyan dalam tubuh sehat
terdapat jiwa yang sehat, tidak tepat lagi. Ilmu pengetahuan
menunjukkan, dalam jiwa yang sehatlah terdapat tubuh yang sehat.
Membentuk Memori
“Perasaan
kecewa maupun kehilangan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari,
stres yang berbeda-beda setiap hari, semuanya memberi dampak,” ujar Dra.
Nilam Widyarini, MS., lulusan Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah
Mada, Yogya.
Pengajar di Universitas Atmajaya Jakarta ini lantas
menerangkan, keadaan yang menimbulkan stres, baik secara fisik maupun
psikis, akan menimbulkan reaksi kimia luar biasa pada tubuh. Segera
setelah seseorang mengalami situasi stres, otak akan mengirim pesan
kepada saraf agar melepaskan adrenalin dan kimia otak lain, untuk
dikirimkan sebagai energi kepada otot.
Yang lebih penting lagi, ada
bagian kecil pada otak yang disebut hippothalamus, akan mengirim pesan
kepada kelenjar di bawah otak agar mengalirkan hormon corticotrophin ke
dalam darah.
Pada gilirannya, hormon ini akan meminta kelenjar
adrenal supaya mengeluarkan lebih banyak hormon stres (glucocorticoids).
Hormon ini akan memerintahkan tubuh supaya membanjiri darah dengan
gula, agar segera memiliki energi untuk lari dari bahaya.
Hormon
stres terutama sekali tampak ‘menggemparkan’ bagi bagian otak yang
disebut hippocampus. Bagian inilah yang memainkan peranan penting dalam
membentuk memori.
Dalam buku panduan mengenai stres berjudul Why
Zebras Don’t Get Ulcers, Robert Sapolsky menjelaskan bahwa jika berhasil
mengatasi situasi stres, kita ingin bisa mengingatnya supaya lain kali
bisa menghindarinya. Dalam peristiwa yang sangat mengguncangkan,
biasanya memori akan menajam. Mungkin inilah yang bisa menjelaskan,
mengapa kita sulit melupakan tragedi ‘65 atau kerusuhan Mei ‘98.
Stres Berulang
Kadang
orang mengalami stres secara berulang, dan akibatnya glucocorticoids
akan membanjiri otak. Lama kelamaan manfaat hormon stres hilang,
sehingga memori akan memburuk, tingkat energi turun, dan problem
kesehatan muncul.
Menurut Sapolsky, dalam beberapa hari saja
hormon stres meningkat, akan melemahkan (bahkan mematikan) sel
hippocampal jika suplai oksigen terhenti, seperti yang terjadi saat
stroke atau serangan jantung.
Stres traumatik seperti yang
terjadi pada anak-anak korban kekerasan seksual, veteran maupun korban
perang, tentu saja lebih besar kemungkinannya merusak otak. Dalam
American Journal of Psychiatry dijelaskan bahwa veteran perang rata-rata
hippocampal otak kanannya berkurang 8%. Anak korban kekerasan seksual
ukuran hippocampal pada otak kirinya berkurang 12%.
Studi lain
yang dilakukan intensif selama empat tahun terhadap sekelompok wanita
diketahui, mereka yang hormon stresnya sering meningkat, hippocampal
pada otaknya berkurang 14%. Dari pemeriksaan pasien depresi diketahui,
ukuran hippocampal-nya berkurang 19% dibanding orang yang sehat.
Melihat akibatnya yang sangat buruk itu, satu-satunya cara agar kita tetap sehat adalah sebisa mungkin mengelola stres.
*> Sumber : Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar